Tak hanya pantai-pantainya yang eksotik, Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai salah satu destinasi wisata Indonesia yang dikenal menyajikan beragam
seni-seni kerajinan tangan yang sangat digemari. Nah, kita akan menelusuri sebuah desa desinasi wisata kerajinan ini bernama
Desa Beleka. Kenapa Beleka? Karena jauh sebelum Kerajinan
Pulau Lombok terkenal, desa ini sudah menggeluti seni kerajinan tangan dan sejak sudah dibudidayakan dan menjadi ikon desa.
Desa Beleka adalah salah satunya. Desa yang terletak 15 km di arah Timur kota Praya, Kecamatan
Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah. Ia bersebelahan dengan Desa Janapria Desa Informasi yang baru diresmikan Menkominfo. Desa ini merupakan salah satu pusat kerajinan tangan, terutama kerajinan rotan dan ketak. Selain rotan, kerajinan lain yang diproduksi adalah kerajinan kayu, keris dan keramik. Sudah lebih dari 25 tahun desa ini menjadi supplier kerajinan rotan untuk dijual kembali di Bali.
Pemandangan para wanita yang bekerja memilin rotan merupakan pemandangan umum yang terlihat sehari-hari di Desa Beleka. Tidak peduli dengan panasnya udara dan teriknya matahari, ibu-ibu duduk beralaskan tikar di depan rumah, memangku rotan di pangkuan sementara tangannya lincah bergerak mengolah rotan menjadi barang kerajinan sambil asyik berbincang dengan ibu-ibu lainnya. Sementara bapak-bapak bertani, ibu-ibu ini membuat kerajinan setelah pekerjaan rumah tangga selesai dikerjakan. Proses pembuatan kerajinan terbilang cukup sulit dan memakan waktu lama. Batang ketak dan rotan dihaluskan, lalu dianyam atau dipilin sesuai model yang akan dibuat, terakhir dicat dengan pelitur. Dalam sehari dapat diselesaikan 2-3 buah kerajinan rotan yang sederhana.
Oleh ibu-ibu pengrajin ini, kerajinan rotan yang cukup simple dihargai Rp 5.000,00 sampai Rp 6.000,00 per buah. Sedangkan modal untuk membeli bahan baku rotan dan ketak sekitar Rp.3.000,00 untuk setiap buah kerajinan. Untuk modalnya, ibu-ibu ini juga mendapat pinjaman PPK. Kerajinan ini lalu dibeli oleh pengepul untuk dijual lagi ke
artshop di NTB,
pasar Sukowati di Denpasar, bahkan ke luar negeri. Peminatnya banyak, baik orang Indonesia maupun orang asing. Seiring waktu, permintaan atas hasil kerajinan rotan dan ketak semakin meningkat, bahkan kerajinan ini diekspor ke Malaysia, Singapura, Cina, New Zaeland, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, Prancis, Spanyol, Belgia dan Swiss.
Tingginya permintaan akan hasil kerajinan ini membuat perajin dan pemilik artshop mendatangkan bahan baku dari luar pulau Lombok seperti Flores, Kalimantan Selatan dan Sumbawa. Namun ironisnya, harga jual kerajinan di luar desa Beleka dapat mencapai puluhan ribu rupiah, berkali-kali lipatnya. Dari salah satu penjual handycraft diketahui bahwa untuk baki parsel anyaman rotan harganya Rp.35.000,00, untuk copok bundar songket dihargai Rp.20.000,00, nampan dari rotan dihargai Rp.80.000,00, bak sampah Rp.150.000,00, tas anyaman Rp.250.000,00, bahkan keranjang laundry mencapai Rp.300.000,00. Harga yang membengkak ini tidak dinikmati oleh pengrajin karena harga jual dari pengrajin murah. Pengepul dan pemilik artshoplah yang menikmati keuntungannya. Ini terjadi karena kurangnya pengetahuan ibu-ibu pengrajin tentang cara pemasaran dan nilai ekonomi dari pilinan demi pilinan rotan yang dikerjakan dengan peluh dan keringat.
Sebenarnya usaha kerajinan rotan dan ketak ini berdampak besar bagi kehidupan wanita desa. Selain meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, juga membangun rasa percaya diri dan optimisme wanita karena mereka telah memiliki keterampilan yang bisa menjadi sumber penghasilan di samping dari hasil bertani. Namun kurang matangnya strategi pemasaran dan pengetahuan akan nilai jual kerajinan membuat berkurangnya manfaat yang didapat.
Agar dapat maksimal, perlu dibuat kelompok wanita yang kompak bekerja sama mulai dari persiapan, perencanaan, produksi kerajinan, pemasaran sampai monitoring dan evaluasi. Dengan bekerja secara berkelompok, akan tumbuh rasa kebersamaan dan kekeluargaaan sehingga setiap wanita dapat berkontribusi baik dengan mengajarkan pada yang belum terampil, maupun mencari cara-cara memasarkan produk. Mungkin perlu adanya intervensi pemerintah, untuk mengevaluasi dan menetapkan harga jual sehingga pengrajin tidak hanya sekedar menjadi buruh produksi.[]